ILMU HITAM DI BALI

Monday, August 24, 2009

Berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan arus modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari masyarakat Bali. Ilmu hitam yang di kenal dengan istilah "Pengeleakan" di bali, adalah merupakan suatu ilmu yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) dengan segala manifestasinya dalam fungsinya untuk memprelina ( Memusnahkan ) manusia di muka bumi.

Di bali ilmu tersebut dikenal masyarakat sangat luas sejak dulu, ilmu ini memang teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang relatif singkat. Ilmu dapat juga menyebabkan manusia mati secara perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.

Dalam masyarakat bali khususnya yang beragama hindu dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati, demikian pula dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut ilmu hutam atau Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan atau ilmu putih.


Pengertian Ilmu Hitam

Ilmu Hitam disebut juga ilmu pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu orang lain. Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa" ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri. Ilmu leak ini bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian ilmu hitam. Lontar –lontar artinya buku – buku jaman kuno yang terbuat dari daun pohon lontar yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran 30 cm dan lebar 3 cm, diatas lontar diisi tulisan aksara Bali dengan bahasa yang sangat sakral.

Di Bali ada empat jenis lontar Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan antara lain :

1. Lontar Cambraberag.
2. Lontar Sampian Emas
3. Lontar Tanting Emas
4. Lontar Jung Biru.

Lontar – lontar tersebut ditulis pada jaman Raja Erlangga yang berkuasa di Kerajaan Kediri yaitu ditulis pada waktu Calonarang masih hidup. Calonarang adalah nama seorang perempuan dari Desa Dirah yaitu Desa pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kedari. Calonarang berstatus janda sehingga sering disebut Rangda Naten Dirah yaitu Rangda artinya janda atau dalam bahasa Bali disebut balu, Naten artinya dari atau berasal dan Dirah artinya nama suatu desa. Jadi ‘’Rangda Naten Dirah’’ artinya janda dari desa Dirah. Calonarang adalah Ratu Leak yang sangat sakti yang pada jaman itu bisa membuat Kerajaan Kediri Gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat.

Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :

Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Erlangga yaitu didesa Dirah ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang bernama Ibu Calonarang, mempunyai murid – murid yang semuanya perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah senior antara lain :

- Nyi Larung.
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.

Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :

1. Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih, kaqmbing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.

2. Ilmu Leak Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda dan bisa terbang tinggi, paruh dan cakarnya berbisa dan matanya bisa keluar api.

3. Ilmu Leak Tingkat Tinggi Yaitu oaring yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Bade Yaitu berupa menara pengusungan jenasah bertingkat sebelas dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.


Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putrid yang bernama Dirah Ratna Manggali, berparas cantik jelita, tetapi anaknya tidak ada pemuda yang melamarnya karena Dirah Ratna Manggali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan Yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu.

ImageIbu Calonarang sangat sedih bercampur berang. Sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu .

Berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak dengan demikian pada suatu malam yang kelam Ibu Calonarang memanggil murid – muridnya untuk membuat Kerajaan Kediri gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam singkat, sehingga dengan demikian banyak penduduk yang jadi korban, ada yang muntah berak ada pula penyakit yang aneh – aneh timbul di sana sini.

Kerajaan Kediri gempar, sehari hari orang mengusung mayat ke kuburan dalm selisih waktu yang sangat singkat. Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawangita yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu Bharadah yang di tugaskan oleh Raja untuk mengatasi garubug (wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang .

Empu Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu bahula putra Empu Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Manggali agar berhasil mencuri rahasia ilmu pengeleakan milak janda sakti itu. Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut yang dimana berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tenteng teknik – teknik pengeleakan. Setelah Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dangan memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang.

Ibu Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri. Maka pertarunganpun terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu Calonarang dengan penguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadah. Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi. Karena ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang akhirnya terbakar hangus oleh ilmunya sendiri. Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.

Demikian adanya Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang sampai sekarang masih berkembang di Bali, karena masih ada generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.


SISI LAIN KESADARAN MISTIK BALI
Dalam lontar calon arang diungkapkan, setelah raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Rangda Ingdirah, maka janda penekun ilmu hitah ini mengajak murid-muridnya ke kuburan menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dadi dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung munculah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain (selendang ) pada susu, penuh dengan hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah hitam, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan pa tujuan walu ing girah menghadap.

Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam wujud rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali. Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya para seniman pertama yang menciptakan. Sosok Rangda di Bali tidak dikenal,sosok rangda muncul di sejumblah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. Lontar-lontar itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapat anugrah KETAKSU. Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari (sekala ), jika petunjuk-petunluk tidak dipenuhi. Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magi situ menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu.salah satu ciptaan adalah petapakan Ida Betara Rangda

Tapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja manpu mengusir gerubug ( wabah penyakit ) yang pada musim-musim tertentu dating mengancam penduduk Bali., namun juga dinyakini dapat mengayomi masyarakat sengingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting,meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat moderndan berpendidikan tinggi.aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa,atau pura mesti ada petapakan Ida Betara, tanda atau kendaraan adanya Ida Betara, yang tidak dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri Hindia, mungkin Siwa tak sepopuler di Bali,mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikanya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai dawa Pralina yang bertugas menghacurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut

Pasti ada unsur yang bertugas mentrafsormasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori masyarakat Bali. Walaupun tidak dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup di dalam memori semua penduduk Bali, numun didak dapat dipungkiri kalau pada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat di dalam prosesi ( yang bertugas ) untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, numun didak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup di dalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan teradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis,inilah keajaiban Bali

Unsure perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut? Kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks colon arang, yang dengan rajin disalin dan dibuatkan teks-teks baru mengenai makhluk-makhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi disharmoni terhadap mereka (lihat leak dalam foklore Bali;Jiwa Atmaja,2006), pastilah rasa takut itu berkurang. Baiklah, kalaupun berfikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman (undagi) Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya kasanah kubudayaan Bali. Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapat anugrah KETAKSU atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali

Disharmoni tidak boleh terjadi. Berbagai upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan mahluk-mahluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan ke wilayahnya Somya. Hal ini berarti, kedatangan wabah penyakit adalah akibat dari disharmoni tersebut, dandisharmoni terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas-batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan kea lam semula, atau diberi sanksi agar kembali ke wilayah semula.

Puncak harmonisasi antara mahluk-mahluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya mistik itu. Petapakan yang mendapatkan Ketaksu, merupakan bentuk prersentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut

Agar petapakan itu mendapatkan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, di samping daoat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka Petapakan itu harus sakti, memiliki Taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. Umumnya kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara lain kayu pule , kepuh (rangdu ), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berubah menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat memulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut Kilamg Kilung. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan Pasupati, Ngatep, Mintonim dan akhirnya Ngerehang.

Apa sesungguhnya ngereh itu? Beberapa kamus bahasa Bali yang dibuka, tidak mencantumkan kata ngereh. Beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain lontar Canting Mas dan Sewer Mas ( informasi Ida Pedande Bang Buruan ) Widi sastra,Gonapati Tatwa dan lontar Pengerehan.lontar-lontar tersebut ternyata memberi penjelasan mengenai ngereh atau kerauhan dalam perspektif yang luas sehingga kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia, sebab dilakukan di kuburan pada tengah malam, adalah pengertian yang sempit. Meskipun demikian, pengertian ngereh yang sempit inilah yang hidup dalam benak masyarakat Hindu Bali

Ngereh sebagai prosesi-mistik di kuburan dan dilakukan papa tengah malam adalah tahapan akhir dari proses sakralisasi Petapakan Ida Betara Rangda, atau memperbaiki Petapakan yang lama atau rusak. Untuk hal pertama, setelah petapakan dipasipati oleh seorang pendeta, maka diadakan ritual ngereh untuk mendapatkan Sakti Panca Durga. Apapun istilah yang digunakan untuk menyebut ”kedatangan” roh atau kekuatan sakti itu, yang jelas proses ritul-mistik inilah yang unik dan sangat rahasia. Kerahasianya, antara lain dapat dilihat dari tidak banyaknya penduduk yang terlibat dalam prosesi ritual-mistik tersebut, bagi yang ingin melihat harus dari jarak tertentu, sehingga pengalaman mistik pelaku ngereh adalah pengalaman sedikit orang, yang hidup di alam supranatural Bali. Pengalaman mistik inilah sebenarnya ingin kita ketahui dari para pelaku ngereh tersebut

Jero Mangku Made Deling dari pura dalem Kayangan, desa pekraman Denpasar dengan fasih menuturkan pengalamannya bertahun-tahun, yang terlibat dalam prosesi ngereh. Ada dua hal yang unik diungkapkannya adalah permohonan Pala Walung ( tengkorak manusia ) yang digunakan sebagai alas kedua lutut dan satu pantat ( tulang ekor ) pelaku ngereh. Tentu yidak mudah dipahami,bila tiap permohonan Pala Walung, tentu dilakukan dengan Matur Piuning kehadapan Ida Bhatara di Mrajapati, dapat dikabulkan. Pada saat dibutuhkan ,Pala Walung itu ditemukan di semak-semak pekuburan, kemudian setelah digunakan pada prosesi ngereh dikembalikan ke tempat asalnya dan menghilang. Menurut keterangan Mangku Made Deling, selama ini permohonan Pala Walung itu tidak pernah gagal. Akan tetapi di setra pekraman lain, permohonan Pala Walung sering kali gagal,mungkin disebabkan telah semakin jarang orang yang mengubur jenazahnya, atau karena lokasi setra sekarang sudah tidak sepi lagi,dikeliling oleh jalan raya yang dilewati banyak kendaraan,sehingga mengganggukonsentrasi orang yang memohon Pala Walung itu. Suara kendaraan yang memekakan telinga itu juga kerap membuat prosesi ngereh di kuburan gagal. Kesulitan mendapatkan Pala Walung kemudian diganti dengan Nyuh Kelapa Gading tiga buah

Keunikan yang kedua diungkapkan Jero Mangku Deling adalah mengenai Juru Pundut Rangda yang akan menjalani prosesi ngereh di kuburan dekat Desa Pemedilan itu. Menurut penuturan Jero Mangku Deling, Pemundut Ratu Calonarang ( Rangda ) sengaja dipilih orang yang bersih dan polos; belum pernah kerauhan, artinya orang yang benar-benar belum mengenal dunia ngereh. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerauhan akibat dari sabuk pemundut itu, atau dia pura-pura kerauhan, bukan karena Ida Betara yang tedun.”Banyak orang yang berminat mundut Ida Betara hanya karena ingin meminton sabuk itu”, jelas Jero Mangku Deling ini melegakan karena akan dapat dibedakan terjadinya kerauhan karena pura-pura atau karena Ida Betara tedun. Meskipun demikian, pengalaman mistik ini tetap saja tertutup dan rahasia, dan hanya dapat diketahui melalui penuturan para pelaku ngereh saja

Apa yang dialami pelaku ngereh itu, dengan terang diungkapkan oleh Jero Mangku Oka Swadianasebagai gegodan, seluruh tubuh pengereh digigit semut dan nyamuk,ular melintas pada paha pengereh, celeng (Babi) bangkal menguntit, angina semilir yang membawa aji sesirep, kokok ayam yang seolah-olah menandakan hari sudah pagi, bikul nyuling menggoda, talenan bersama blakas yang datang dengan bunyi tek-tek-tek, dan bunyi gemerincing yang dapat menggagalkan pangereh untuk mendapatkan kesaktian. Setelah semua godaan tersebut berhasil dilampaui, barulah pemundut mencapai puncak prosesi dengan ciri-ciri, antara lain pemundut itu ngelur atau kerauhan, kemudian Nyuyak Banten yang ada dihadapannya, barulah para pemangku mendekati dan disalukan prerai Ida Betara Rangda. Kemudian Rangda dibiarkan Melilacita, Masolah dan Melancaran di areal setra. Dalam melancaran tersebut secara otomatis Ida menuju Pura Kepuh Kembar. Semua damuh ngiring Ida yang hakhirnya ke pura Dalem.di jaba Pura Dalem Ida Betara kemudian Nguweh ( Memanggil ) para prasanak, ngulun-ngulun ngelur. Pada saat itu, semua presanak dan ancangan Ida Betara akan ngayah kerauhan. Setelah semua mesineb, ngayah, maka Ida Betara diiring kembali ke Pura Sari.di Pura Sari sendiri,Ida Ratu Patih dan Ida Ratu Ayu sudah siap menyambut dengan penyemblehan. Pada kesempatan itu, banyak yang kerauhan seperti Ratu Ayu Mesoli, Ratu Ayu Mas Meketel, dan Ratu Ayu Canting Mas yang ketiganya adalah rabi dari Ratu Patih. Setelah penyemblehan itu, maka selesailah prosesi di Pura Dalem Desa Pakraman Denpasar itu

PROSESI NGEREH DI KUBURAN MENGGUNAKAN TIGA BUAH WALUNG ( TENGKORAK MANUSIA )DIMANA MENDAPATKAN PALA WALUNG? MEMOHON KEPADA IDA BETARA DI MRAJAPATI. PADA SAAT DIPERLUKAN, PALA WALUNG TERSELIP DI ANTARA SEMAK DI BAWAH POHON KEPUH. INI BENAR-BENAR PERISTIWA YANG IRASIONAL, NAMUN DIJALANKAN SEBAGIAN PENDUDUK HINDU BALI

Banyak anggapan ngereh sebagai sebuah prosesi yang mengada, untuk memenuhi keinginan mistik sedikit orang. Tampaknya ini persoalan serius dan memiliki akar kepurbaan yang panjang. Orang bisa menengarainya sebagai warisan paham TANTRAYANA dari kerajaan singosari abad 13, tepatnya setelah Bali diserang oleh Kertanegara pada tahun 1275, Kertanegara melakukan upacara Pentasbihan Bhairawa, ia membuat dirinya sendiri untuk program imprealisme ke seluruh Nusantara. Mungkin penduduk Bali terpesona oleh kesempurnaan Kertanegara sehingga paham yang dikembangkannya terpengaruh sampai ke Bali

Terlepas dari kaitannya sejarah itu,prosesi ngereh di Bali dijalankan dengan sangat rahasia dan rumit.akan tetapi, penuh dengan pengalaman mistik yang irasional dan mencekam. Sebagaimana disampaikan banyak mitos dan lontar, prosesi itu hendak mencapai tujuan mendapatkan kesaktian, yang diungkapkan dalam bahasa yang berbeda-beda, antara lain agar ketedunan Ida Betara, kemasukan roh yang lebih tinggi dan menjadi petapakan itu sakti,dengan demikian dapat menjalankan fungsinya sebagai penolak ancaman niskala dan mengayomi penduduk di sekitar linggih petapakan itu

Tidak banyak yang mengetahui dan pernah terlibat dalam prosesi itu. Justru karena itu, kami ingin mendapatkan informasi seputar ngereh di jaman yang dianggap supramodern,apakah prosesi ini suatu bukti bahwa Bali energi alam ,dihuni banyak mahluk niskala, yang sewaktu-waktu dapat menunjukan kekuatan dan kesaktiannya melalui tanda-tanda pada manusia sekala dalam prosesi itu. Yang jejas penduduk Bali memiliki banyak keinginan mistik, yang tidak ada di belahan dunia manapun.